-->

Usaha dari Menyanyi dan Harta Penyanyi yang Taubat

Pertanyaan
Sekiranya seorang wanita menjadi penyanyi, lantas dia mendapat uang hasil nyanyiannya, albumnya, konser-konsernya, dan semisalnya. Setelah hartanya sudah banyak dan menjadi kaya raya, dia menggunakan uang kekayaannya untuk membuka sebuah perusahaan (lain). Lalu, dia menjual produk-produk lain.

Persoalannya:
  • Apa hukum tentang membeli produk itu?
  • Bagaimanakah hukum penyanyi tersebut dan bagaimana cara bertaubat terhadap duit hasil menyanyi tersebut?
Jawaban (oleh al-ustadz Dzulqarnain):
Pertanyaan di atas banyak berulang di kalangan penanya dan orang-orang yang menghendaki kebaikan. Tentunya merupakan suatu hal yang wajar, mempertanyakan hal tersebut di zaman ini, tatkala sumber-sumber penghasilan yang haram sangatlah banyak dan beraneka ragam, serta sangat mudah didapatkan. Kita telah menyaksikan kebenaran sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menuturkan,

يَأْتِى عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ ، لاَ يُبَالِى الْمَرْءُ مَا أَخَذَ مِنْهُ أَمِنَ الْحَلاَلِ أَمْ مِنَ الْحَرَامِ

“Akan datang suatu masa kepada manusia, yang seseorang tidaklah peduli terhadap (harta) yang dia ambil, apakah dari (sumber) yang halal atau dari yang haram.”[1]

Oleh karena itu, insya Allah, Saya akan menyebutkan kaidah umum yang menjadi pegangan bagi siapa saja yang menyimpan harta haram dan hendak bertaubat dari hal tersebut[2].

Harus diketahui, bahwa harta haram yang berada di tangan seseorang tidaklah terlepas dari dua keadaan:
  1. Didapatkan tanpa keridhaan pemiliknya, yaitu bahwa harta yang diperoleh secara paksa atau tanpa izin pemiliknya tersebut adalah dalam bentuk barang curian, harta rampasan, atau semisalnya.
  2. Didapatkan dengan keridhaan pemiliknya, bahwa harta berpindah dari tangan pemiliknya karena pemberian dari pemilik itu sendiri, seperti hasil riba, keuntungan perjudian, hasil penjualan minuman keras atau narkoba, upah perdukunan, upah perzinahan, upah penyanyi, dan hasil suap.

Keadaan Pertama
Bila keberadaan pemilik harta haram tersebut diketahui, harta tersebut wajib dikembalikan kepada pemiliknya. Hal ini berdasarkan dalil-dalil yang sangat banyak dalam Al-Qur`an dan Hadits tentang keharaman mengambil harta orang lain tanpa hak, terhormatnya harta bagi pemiliknya, dan kewajiban mengembalikan harta kepada pemiliknya.

Bila zat barang tersebut masih ada, kita wajib mengembalikan zat barang tersebut.

Imam Ibnu Hubairah rahimahullah berkata, “Mereka bersepakat bahwa perampas wajib mengembalikan (harta) rampasan bila zat barang tersebut masih ada dan (bila) tidak ada kekhawatiran akan kebinasaan jiwa kalau (barang) itu dikembalikan.”

Bila zat barang telah berubah, barang itu tetap wajib dikembalikan kepada pemiliknya dengan menambah kekurangan atau perubahan yang terjadi padanya.

Bila zat barang yang diambil itu telah rusak atau musnah, kita wajib mengembalikan barang itu dalam bentuk yang semisal dengannya bila memungkinkan, atau membayar sesuai nilai barang itu bila tidak memungkinkan.

Bila pemilik barang telah meninggal, keberadaan si pemilik tidak diketahui, atau tidak memungkinkan untuk mengambalikan barang tersebut karena suatu alasan syar’i, kita wajib menyedekahkan harta tersebut pada kemashlahatan kaum muslimin yang bersifat umum. Demikian pendapat kebanyakan ulama, dan hal ini dikuatkan dengan amalan sejumlah shahabat.

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman,

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Maka bertakwalah kalian kepada Allah menurut kesanggupan kalian ….”[At-Taghabun: 16]

Keadaan Kedua
Hukum terhadap keadaan kedua ini harus dirinci pada dua kondisi:

Pertama, ketidaktahuan atas pengharaman harta atau perbuatan tersebut, atau kekeliruan dengan menganggap hal yang haram sebagai perkara yang diperbolehkan.

Pada kondisi ini, siapa saja yang bertaubat dari kepemilikan harta haram dan berhenti dari melakukan perbuatan haramnya, seluruh harta tersebut (yang dia dapatkan saat dia tidak mengetahui hukum) menjadi miliknya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala

فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ

“Orang-orang yang larangan dari Rabb-nya telah sampai kepadanya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), baginya adalah apa-apa yang telah dia ambil dahulu (sebelum larangan datang); dan urusannya (terserah) kepada Allah.” [Al-Baqarah: 275]

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Si’dy rahimahullah berkata, “Allah Ta’ala tidak memerintah (seseorang) untuk mengembalikan harta yang didapatkan dengan akad riba setelah (dia) bertaubat. (Allah) hanya memerintah untuk mengembalikan (harta) riba yang belum dia pegang (karena) sesungguhnya (orang yang bertaubat dari riba ini) hanyalah mengambil (harta) dengan ridha pemilik (harta) itu. Oleh karena itu, hal ini tidak sama dengan barang rampasan. Pada (ketentuan ini), terdapat keringanan dan anjuran untuk bertaubat, hal yang tidak (terjadi) pada pernyataan bahwa taubatnya harus diterima bila dia mengembalikan seluruh transaksi yang telah berlalu, bagaimanapun banyak dan beratnya (transaksi tersebut).”

Kedua, adanya pengetahuan akan keharaman harta atau perbuatan tersebut.

Pada kondisi ini, seluruh harta yang dia dapatkan tidak terhitung ke dalam kepemilikannya. Kewajiban dia adalah berlepas diri dari harta tersebut dan menyalurkan harta itu pada mashlahat kaum muslimin yang bersifat umum atau menyedekahkan harta itu pada amalan-amalan kebaikan. Hal ini berdasarkan pemahaman dari kandungan surah Al-Baqarah ayat ke-275 yang telah disebutkan dan beberapa dalil lain.

Al-Lajnah Ad-Da`imah –yang beranggotakan Syaikh Ibnu Baz (ketua), Syaikh Abdurrazzaq ‘Afify (wakil), dan Syaikh Abdullah bin Ghudayyan (anggota)- pernah ditanya sebagai berikut.

Saya bertanya kepada para Syaikh yang mulia tentang sebuah fatwa yang tersebar dari salah seorang ulama bahwa seseorang yang menghasilkan harta dari produksi atau penjualan khamar, atau penjualan narkoba, kemudian dia bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sesungguhnya harta yang dihasilkan dari produksi atau penjualan khamar, penjualan atau pengedaran narkoba, itu adalah halal karena banyak dari para penuntut ilmu yang mempertanyakan hal ini. Kami senang meminta fatwa dari para Syaikh yang mulia tentang hal ini.

Jawaban Al-Lajnah adalah sebagai berikut.

“Apabila saat menghasilkan (harta) haram, (orang tersebut) mengetahui pengharaman hal itu, sesungguhnya (harta) itu tidak halal baginya (setelah) dia bertaubat. Bahkan, dia wajib berlepas diri dari (harta haram) tersebut dengan cara menginfakkan (harta haram) itu pada bentuk-bentuk dan amalan-amalan kebaikan.”[3]

Ukuran kemashlahatan kaum muslimin diterangkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah melalui ucapan beliau, “(Harta haram) yang disedekahkan hendaknya disalurkan kepada mashlahat-mashlahat kaum muslimin. Oleh karena itu, (harta itu) diberikan kepada orang-orang yang berhak menerima zakat, untuk memuliakan tamu, untuk membantu orang haji, sebagai infaq untuk jihad, dan kepada pintu-pintu kebaikan yang Allah dan Rasul-Nya cintai, sebagaimana hal tersebut berlaku pada seluruh harta yang pemiliknya tidak diketahui. Demikian pula, (hal tersebut) berlaku kepada orang yang telah bertaubat dari (harta) haram, sedang di tangannya ada (harta) haram yang pemiliknya tidak diketahui.”[4]

Pada kondisi kedua ini, pengembalian harta haram (yang didapatkan dengan keridhaan pemiliknya) kepada pemiliknya bukanlah merupakan bentuk taubat. Hal ini karena antara pengembalian upah dan manfaat yang dipetik dari upah tidak boleh digabungkan. Penggabungan antara pengembalian upah dan manfaat yang dipetik dari upah adalah bentuk memudahkan kemaksiatan dan bentuk tolong menolong di atas dosa dan permusuhan. Tentulah tidak benar, dalam akal orang-orang yang sehat, bahwa penjual khamar (ketika bertaubat dari perbuatannya) diperintah untuk mengembalikan harga khamar tersebut kepada peminum khamar (yang telah membayar harga khamar). Inilah makna tentang ketidakbolehan menggabungkan antara pengembalian upah dan manfaat yang dipetik dari upah.[5] Wallahu A’lam

Setelah menjelaskan kaidah di atas seputar bertaubat dari harta haram, kita kembali kepada pertanyaan penanya.

Ada tiga hal yang perlu saya uraikan:
Pertama, dari penjelasan tersebut, tampak bahwa keadaan penanya (saat memperoleh harta haram dengan cara menyanyi) harus dipastikan, apakah dia mengetahui keharaman perbuatannya atau tidak?

Bila dia mengetahui keharaman perbuatannya, seluruh hartanya yang berasal dari sumber haram tersebut disalurkan kepada kemashlahatan kaum muslimin. Namun, menurut Ibnul Qayyim rahimahullah, “Bila tergolong ke dalam orang yang sangat memerlukan (harta itu), dia boleh mengambil (harta itu) sekadar keperluannya lalu bersedekah dengan sisa (harta) itu.”[6]

Bila dia tidak mengetahui keharaman perbuatannya, harta haram yang telah berada di tangannya menjadi kepemilikannya berdasarkan firman Allah Ta’ala

فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ

“Orang-orang yang larangan dari Rabb-nya telah sampai kepadanya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), baginya adalah apa-apa yang telah dia ambil dahulu (sebelum larangan datang); dan urusannya (terserah) kepada Allah.” [Al-Baqarah: 275]

Kedua, tentang usaha-usaha lain yang dikembangkan dari harta haram atau hasil perbuatan haram, hal tersebut berkaitan dengan jenis usahanya, apakah usaha tersebut dari bentuk usaha yang dihalalkan atau diharamkan? Juga berkaitan dengan sumber hartanya pada usaha tersebut, apakah seluruh hartanya berasal dari sumber yang haram atau bercampur antara yang halal dan yang haram?

Ketiga, dalam membeli produk usaha dari sumber yang haram, bila barang yang dijual tersebut pada dasarnya adalah haram (muharram li dzatihi), seseorang tidaklah boleh membeli barang itu. Akan tetapi, bila produk usaha tersebut berasal dari sumber harta yang bercampur, seseorang tidak mengapa bertransaksi dan membeli. Demikian karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya bertransaksi dengan orang-orang Yahudi, padahal, di dalam Al-Qur`an, telah disebutkan bahwa orang-orang Yahudi itu bermuamalah dengan harta riba. Wallahu A’lam

Catatan Kaki
[1] Dikeluarkan oleh Al-Bukhary dari Abu Sa’id Al-Khudry radhiyallahu ‘anhu
[2] Ada beberapa bacaan yang bagus dalam masalah ini, di antaranya adalah buku Ahkam Al-Mal Al-Haram karya ‘Abbas Al-Baz, akhir risalah Al-Farq Baina Al-Bai’ Wa Ar-Riba Fi Asy-Syari’ah Al-Islamiyah karya guru kami, Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, risalah At-Taubah Min Al-Makasib Al-Muharramah karya Khalid Al-Mushlih dengan beberapa ta’liq dari Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, dan risalah Tahrir Ra’yi  Syaikhul Islam Fi Hukmi At-Ta`ib Min Al-Mal Al-Haram karya Abdul Majib Al-Manshur.
[3] Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah 14/32.
[4] Majmu’ Al-Fatawa 30/328.
[5] Hal ini ditegaskan oleh Syaikh Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim rahimahumallah
[6] Zad Al-Ma’ad 5/779.

Sumber : Rubrik Tanya Jawab, Majalah Bisnis Muslim edisi 1/1433/2012

“Tidak ada kebaikan dalam hidup ini kecuali salah satu dari dua orang:
1. Orang yang diam namun berpikir atau
2. Orang yang berbicara dengan ilmu.”
[Abu ad-Darda’ Radhiallohu 'anhu]