Tujuan Penciptaan Manusia
"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezeki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh."
Tujuan utama penciptaan jin dan manusia adalah untuk mengesakan Allah dalam ibadah, oleh sebab itu hendaknya segala aktifitasnya bernilai ibadah hanya karena Allah. Termasuk di dalamnya mencari nafkah dari apa yang Allah telah rezekikan kepadanya, dilakukannya bukan semata-mata untuk makan dan bertahan hidup semata tapi diniatkan untuk ibadah karena Allah. Dengan demikian terwujudlah kesholihan dalam pribadi serta dalam harta yang didapatkannya.
Hidup Untuk Ibadah Semata
Rasulullah Shollallahu 'alaihi wasallam bersabda :
Nikmat harta yang baik adalah yang dimiliki laki-laki yang salih.[1]
Orang-orang sholeh tentu mengetahui bahwa harta yang sesungguhnya adalah yang dibelanjakan dijalan Allah, Allah Subhanahu wata'ala berfirman :
"Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati."
Allah subhanahu wata'ala, hanyalah menerima harta yang baik dari kita, bahkan harta yang baik itu menjadi indikator diterima tidaknya ibadah yang kita lakukan sebagaimana diceritakan dalam sebuah hadits Rasululloh Shallallohu‘alai wasallam bersabda :
Kemudian beliau menuturkan seseorang yang sedang bepergian sangat jauh, berpakaian compang camping, berambut kusut, mengangkat tangan ke atas langit tinggi-tinggi dan berdoa “Ya Rabbi, Ya Rabbi, sementara makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan darah dagingnya tumbuh dari yang haram maka bagaimana terkabul doanya.[2]
Para Shahabat Nabi adalah orang-orang yang berlomba dalam membelanjakan hartanya di jalan Allah, mari kita lihat bagaimana keutamaan Abu bakar dan Umar dalam kisah berikut ini :
Umar bin Khaththab berkata:
Pernah suatu hari Rasulullah memerintahkan kepada kami agar bersedekah dan ketika itu saya sedang memiliki harta yang sangat banyak: maka saya berkata: Hari ini aku akan mampu mengungguli Abu Bakar lalu aku membawa separoh hartaku untuk disedekahkan. Maka Rasulullah bersabda: Apa yang kamu tinggalkan untuk keluargamu? Saya berkata: Aku tinggalkan untuk keluargaku semisalnya. Lalu Abu Bakar datang membawa semua kekayaannya maka beliau bersabda: Wahai Abu Bakar Apa yang kamu tinggalkan untuk keluargamu, ia menjawab: Saya tinggalkan untuk mereka, Allah dan Rasul-Nya. Maka aku berkata: Saya tidak akan bisa mengunggulimu selamanya.[3]
Begitulah puncak tawakkal mereka kepada Allah Subhanahu wata'ala, mereka yaqin bahwa selama masih hidup, rezeki masih ada. Namun jika ajal semakin dekat berarti jatah rezeki yang dimiliki juga semakin menipis dan harta yang banyak yang kita kumpulkan bukan harta kita lagi.
Termasuk kebaikan apabila kita tidak meninggalkan anak keturunan kita dalam keadaan lemah dari sisi ekonomi terlebih lagi lemah dari sisi keimanan.
Nabi pernah mengatakan kepada Saad bin Abu Waqqas:
Sesungguhnya bila kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam kekurangan menjadi beban orang lain.[4]
Kerja adalah Ibadah
Apabila kita telah memahami bahwa hidup ini untuk ibadah maka mari kita jadikan semua aktfitas kita bernilai ibadah, bukan dibagi dua 50% dunia dan 50% akhirat, tapi kita jadikan 100% untuk kehidupan akhirat.
Mampukah kita menjadikannya 100% untuk kehidupan akhirat...??? Berarti kita mencari harta tidak sekedar untuk kehidupan dunia tapi juga untuk kepentingan akhirat, dimulai dengan "Niat" untuk mencari karunia Allah,
"Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung."
Dilanjutkan dengan penuh ke-Sabar-an" ketika sulit dan berat mendapatkannya, lalu ber-Syukur dan berterima kasih kepada Allah atas karunianya tersebut, dengan cara membelanjakannya di jalan Allah.
"Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi itu (sumber) penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur."
Pengemis Profesi Tercela
Telah lalu hadits yang menceritakan kepada kita bahwa Nabi menegur shahabatnya dan menganjurkannya untuk tidak membiarkan pewarisnya menggantungkan kehidupannya kepada orang lain.
Secara halus hal tersebut merupakan celaan bagi peminta-minta, dilain sisi Nabi memberi pujian kepada seorang muslim yang dermawan dan membelanjakan hartanya di jalan kebaikan. Dari Abdullah bin Umar Nabi bersabda :
Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah dan tangan yang di atas suka memberi dan tangan yang di bawah suka meminta.[5]
Secara hakiki pemalas yang menjadi beban orang dan pengemis yang menjual harga diri merupakan manusia paling tercela dan sangat dibenci Islam seperti yang telah ditegaskan dalam sebuah hadits dari Abdullah Ibnu Umar bahwasannya Nabi bersabda :
Tidaklah sikap meminta-minta terdapat pada diri seseorang di antara kalian kecuali ia bertemu dengan Allah sementara di wajahnya tidak ada secuil dagingpun.[6]
Kesimpulan
Etos kerja seorang muslim hendaknya lebih dibandingkan dengan selainnya, karena seluruh aktifitasnya dilakukan semata-mata karena ibadah kepada Allah.
Bekerja semaksimal mungkin di dunia untuk kehidupan akhiratnya 100%, niatnya karena Allah, dijalaninya dengan sabar, syukur serta tawakkal kepada Allah Subhanahu wata'ala.
Seorang muslim pantang untuk bermalas-malasan apalagi sampai menjadi beban bagi orang lain dengan meminta-minta, mengemis dan lain sebagainya.
Penutup
Semoga Allah memberikan pertolongan-Nya kepada kita sehingga mampu hidup mapan dan mandiri tanpa meninggalkan religi.
Catatan Kaki :
[1]H.R Ahmad dalam Musnadnya dengan sanad yang hasan, juz, 4 hadits no: 197 dan 202.
[2]H.R Muslim dalam Kitab zakat, Tirmizdi, Darimi dan Ahmad dalam Musnadnya.
[3]Riwayat Tirmidzi3675, Hakim di mustadrak1/414 dia berkata shahih.
[4]H.R Bukhari (2742), Muslim (1628), Tirmidzi (2116), Nasai dan Ibnu Majah.
[5]H.R. Bukhari (1429), Muslim, (1033), Abu Daud (4947), Ahmad dalam Musnadnya dan Nasa’I dan Ihnu Hibban.
[6]H.R Bukhari, Muslim dan Nasa’i dalam sunannya.
Sumber :
{وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ * مَا أُرِيدُ مِنْهُمْ مِنْ رِزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَنْ يُطْعِمُونِ * إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ} [الذاريات: 56 - 58]
"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezeki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh."
Tujuan utama penciptaan jin dan manusia adalah untuk mengesakan Allah dalam ibadah, oleh sebab itu hendaknya segala aktifitasnya bernilai ibadah hanya karena Allah. Termasuk di dalamnya mencari nafkah dari apa yang Allah telah rezekikan kepadanya, dilakukannya bukan semata-mata untuk makan dan bertahan hidup semata tapi diniatkan untuk ibadah karena Allah. Dengan demikian terwujudlah kesholihan dalam pribadi serta dalam harta yang didapatkannya.
Hidup Untuk Ibadah Semata
Rasulullah Shollallahu 'alaihi wasallam bersabda :
نِعْمَ الْمَالُ الصَّالِحُ لِلْمَرْءِ الصَّالِحِ
Nikmat harta yang baik adalah yang dimiliki laki-laki yang salih.[1]
Orang-orang sholeh tentu mengetahui bahwa harta yang sesungguhnya adalah yang dibelanjakan dijalan Allah, Allah Subhanahu wata'ala berfirman :
{الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ سِرًّا وَعَلَانِيَةً فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ} [البقرة: 274]
"Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati."
Allah subhanahu wata'ala, hanyalah menerima harta yang baik dari kita, bahkan harta yang baik itu menjadi indikator diterima tidaknya ibadah yang kita lakukan sebagaimana diceritakan dalam sebuah hadits Rasululloh Shallallohu‘alai wasallam bersabda :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا الطَّيِّبَ، إِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ، قَالَ: {يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ} [المؤمنون: 51]
Wahai manusia sesungguhnya Alloh Maha Bersih tidah menerima kecuali yang bersih, dan sesungguhnya Alloh memerintahkan kepada orang-orang beriman seperti memerintahkan kepada para utusan-Nya maka Alloh ‘azza wa jalla berfirman: Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. 23:51)
وَقَالَ: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ} [البقرة: 172]
Dan Alloh ‘azza wa jalla berfirman: Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Alloh, jika benar-benar hanya kepada Alloh kamu menyembah. (QS. 2:172)
ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ: يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ، وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ، وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ، وَغُذِّيَ بِالْحَرَامِ، فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ؟
Kemudian beliau menuturkan seseorang yang sedang bepergian sangat jauh, berpakaian compang camping, berambut kusut, mengangkat tangan ke atas langit tinggi-tinggi dan berdoa “Ya Rabbi, Ya Rabbi, sementara makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan darah dagingnya tumbuh dari yang haram maka bagaimana terkabul doanya.[2]
Para Shahabat Nabi adalah orang-orang yang berlomba dalam membelanjakan hartanya di jalan Allah, mari kita lihat bagaimana keutamaan Abu bakar dan Umar dalam kisah berikut ini :
Umar bin Khaththab berkata:
أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ نَتَصَدَّقَ فَوَافَقَ ذَلِكَ عِنْدِى مَالاً فَقُلْتُ الْيَوْمَ أَسْبِقُ أَبَا بَكْرٍ إِنْ سَبَقْتُهُ يَوْمًا قَالَ فَجِئْتُ بِنِصْفِ مَالِى فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَا أَبْقَيْتَ لأَهْلِكَ ». قُلْتُ مِثْلَهُ وَأَتَى أَبُو بَكْرٍ بِكُلِّ مَا عِنْدَهُ فَقَالَ « يَا أَبَا بَكْرٍ مَا أَبْقَيْتَ لأَهْلِكَ ». قَالَ أَبْقَيْتُ لَهُمُ اللَّهَ وَرَسُولَهُ قُلْتُ وَاللَّهِ لاَ أَسْبِقُهُ إِلَى شَىْءٍ أَبَدًا
Pernah suatu hari Rasulullah memerintahkan kepada kami agar bersedekah dan ketika itu saya sedang memiliki harta yang sangat banyak: maka saya berkata: Hari ini aku akan mampu mengungguli Abu Bakar lalu aku membawa separoh hartaku untuk disedekahkan. Maka Rasulullah bersabda: Apa yang kamu tinggalkan untuk keluargamu? Saya berkata: Aku tinggalkan untuk keluargaku semisalnya. Lalu Abu Bakar datang membawa semua kekayaannya maka beliau bersabda: Wahai Abu Bakar Apa yang kamu tinggalkan untuk keluargamu, ia menjawab: Saya tinggalkan untuk mereka, Allah dan Rasul-Nya. Maka aku berkata: Saya tidak akan bisa mengunggulimu selamanya.[3]
Begitulah puncak tawakkal mereka kepada Allah Subhanahu wata'ala, mereka yaqin bahwa selama masih hidup, rezeki masih ada. Namun jika ajal semakin dekat berarti jatah rezeki yang dimiliki juga semakin menipis dan harta yang banyak yang kita kumpulkan bukan harta kita lagi.
Termasuk kebaikan apabila kita tidak meninggalkan anak keturunan kita dalam keadaan lemah dari sisi ekonomi terlebih lagi lemah dari sisi keimanan.
Nabi pernah mengatakan kepada Saad bin Abu Waqqas:
إِنَّكَ أَنْ تَدَعَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَدَعَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ فِي أَيْدِيهِمْ
Sesungguhnya bila kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam kekurangan menjadi beban orang lain.[4]
Kerja adalah Ibadah
Apabila kita telah memahami bahwa hidup ini untuk ibadah maka mari kita jadikan semua aktfitas kita bernilai ibadah, bukan dibagi dua 50% dunia dan 50% akhirat, tapi kita jadikan 100% untuk kehidupan akhirat.
Mampukah kita menjadikannya 100% untuk kehidupan akhirat...??? Berarti kita mencari harta tidak sekedar untuk kehidupan dunia tapi juga untuk kepentingan akhirat, dimulai dengan "Niat" untuk mencari karunia Allah,
{فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ} [الجمعة: 10]
"Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung."
Dilanjutkan dengan penuh ke-Sabar-an" ketika sulit dan berat mendapatkannya, lalu ber-Syukur dan berterima kasih kepada Allah atas karunianya tersebut, dengan cara membelanjakannya di jalan Allah.
{وَلَقَدْ مَكَّنَّاكُمْ فِي الْأَرْضِ وَجَعَلْنَا لَكُمْ فِيهَا مَعَايِشَ قَلِيلًا مَا تَشْكُرُونَ} [الأعراف: 10]
"Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi itu (sumber) penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur."
Pengemis Profesi Tercela
Telah lalu hadits yang menceritakan kepada kita bahwa Nabi menegur shahabatnya dan menganjurkannya untuk tidak membiarkan pewarisnya menggantungkan kehidupannya kepada orang lain.
Secara halus hal tersebut merupakan celaan bagi peminta-minta, dilain sisi Nabi memberi pujian kepada seorang muslim yang dermawan dan membelanjakan hartanya di jalan kebaikan. Dari Abdullah bin Umar Nabi bersabda :
اليَدُ العُلْيَا خَيْرٌ مِنَ اليَدِ السُّفْلَى ، وَاليَدُ العُلْيَا هِيَ المُنْفِقَةُ ، وَالسُّفْلَى هِيَ السَّائِلَةُ
Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah dan tangan yang di atas suka memberi dan tangan yang di bawah suka meminta.[5]
Secara hakiki pemalas yang menjadi beban orang dan pengemis yang menjual harga diri merupakan manusia paling tercela dan sangat dibenci Islam seperti yang telah ditegaskan dalam sebuah hadits dari Abdullah Ibnu Umar bahwasannya Nabi bersabda :
«لَا تَزَالُ الْمَسْأَلَةُ بِأَحَدِكُمْ حَتَّى يَلْقَى اللهَ، وَلَيْسَ فِي وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ»
Tidaklah sikap meminta-minta terdapat pada diri seseorang di antara kalian kecuali ia bertemu dengan Allah sementara di wajahnya tidak ada secuil dagingpun.[6]
Kesimpulan
Etos kerja seorang muslim hendaknya lebih dibandingkan dengan selainnya, karena seluruh aktifitasnya dilakukan semata-mata karena ibadah kepada Allah.
Bekerja semaksimal mungkin di dunia untuk kehidupan akhiratnya 100%, niatnya karena Allah, dijalaninya dengan sabar, syukur serta tawakkal kepada Allah Subhanahu wata'ala.
Seorang muslim pantang untuk bermalas-malasan apalagi sampai menjadi beban bagi orang lain dengan meminta-minta, mengemis dan lain sebagainya.
Penutup
Semoga Allah memberikan pertolongan-Nya kepada kita sehingga mampu hidup mapan dan mandiri tanpa meninggalkan religi.
Catatan Kaki :
[1]H.R Ahmad dalam Musnadnya dengan sanad yang hasan, juz, 4 hadits no: 197 dan 202.
[2]H.R Muslim dalam Kitab zakat, Tirmizdi, Darimi dan Ahmad dalam Musnadnya.
[3]Riwayat Tirmidzi3675, Hakim di mustadrak1/414 dia berkata shahih.
[4]H.R Bukhari (2742), Muslim (1628), Tirmidzi (2116), Nasai dan Ibnu Majah.
[5]H.R. Bukhari (1429), Muslim, (1033), Abu Daud (4947), Ahmad dalam Musnadnya dan Nasa’I dan Ihnu Hibban.
[6]H.R Bukhari, Muslim dan Nasa’i dalam sunannya.
Sumber :
- Terjemah Al Qur'an v1.5
- Maktabah Syamilah
- Etos Kerja Seorang Muslim
- ETOS KERJA SEORANG MUSLIM (bag.1)
“Tidak ada kebaikan dalam hidup ini kecuali salah satu dari dua orang:
1. Orang yang diam namun berpikir atau
2. Orang yang berbicara dengan ilmu.”
[Abu ad-Darda’ Radhiallohu 'anhu]