-->

Antara Ta'ziah dan Kesempurnaan Islam

Makna Ta’ziyah
Secara bahasa, at ta’ziyah dari kata ‘azza – yu’azza. Apabila dikatakan ‘azzaahu ta’ziyah artinya adalah memerintahkan agar ber’aza’, yaitu bersabar atas musibah yang menimpa. (Taj al ‘Arus, Jilid 39, Hal.39, al Mu’jam al Wasith, Jilid 1, Hal.629)
Adapun secara istilah artinya adalah memerintahkan agar bersabar dan bertahan dengan perkara yang menimpanya, dengan yakin akan janji pahala dan berhati-hati dari dosa, mendoakan jenazah dengan ampunan dan mendoakan orang yang tertimpa musibah dengan memperbaiki musibah tersebut. (al Mausu’ah al Fiqhiyyah, Jilid 12, Hal.287)
Imam al Munbiji al Hambali menjelaskan bahwa maksud ta’ziyah adalah menghibur orang yang sedang tertimpa musibah, menunaikan hak-hak mereka, mendekati mereka agar dapat menunaikannya, sebelum dimakamkan atau setelahnya karena mereka telah sibuk dengan musibah yang menimpanya.” (Tasliyah ahli al Masha’ib, hal.155)

Keutamaan Berta’ziyah
Berta’ziyah kepada saudara yang sedang tertimpa musibah dapat mendatangkan keutamaan yang sangat banyak, antara lain dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits berikut ini:
1. Diberi pakaian kehormatan pada hari kiamat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Tidaklah ada seorang mukmin yang berta’ziyah kepada saudaranya tatkala tertimpa suatu musibah, melainkan Allah azza wa jalla akan memberinya pakaian dari pakaian kemulian pada hari kiamat.” [HR.Ibnu Majah, no.1601 dan dihasankan oleh Syaikh al Albani dalam Shahih Ibn Majah, no.1311, Irwa’ al Ghalil, no.764, ash Shahihah, no.195. Al-I’lam bi Akhiri Ahkam al-Albani al-Imam, hal.154 no.209]
2. Termasuk amalan yang utama
Ta’ziyah merupakan amalan yang utama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjelaskannya dalam sabda beliau:
“Amalan yang paling utama adalah menyenangkan orang mukmin, memberi pakaian dia untuk menutup auratnya, mengenyangkan kelaparannya atau memenuhi kebutuhannya.” [Shahih Targhib wa Tarhib, no.2090, hadits hasan)
3. Mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
Hal itu karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah banyak melakukan ta’ziyah kepada orang yang sedang tertimpa musibah.
Inilah di antara keutamaan melakukan ta’ziyah kepada saudara yang sedang tertimpa musibah.

Ta’ziyah-ta’ziyah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mencontohkan ta’ziyah kepada keluarga yang sedang ditimpa musibah, antara lain sebagai berikut:
Pertama:
Ta’ziyah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada anak perempuannya. Beliau bersabda:
“Sesungguhnya kepunyaan Allah-lah apa yang Dia ambil dan kepunyaan Allah pula apa yang Dia berikan, dan segala sesuatu yang ada di sisi-Nya pasti akan sampai pada waktu yang telah ditentukan. Hendaklah engkau bersabdar dan mengharapkan (pahala dari Allah).” [HR.al Bukhari, no.1284 dan Muslim, no.923]
Syaikh al Utsaimin rahimahullah mengatakan bahwa ini adalah ungkapan yang paling baik untuk diucapkan ketika berta’ziyah. [asy Syarah al Mumti’ jilid 5 hal.487]
Kedua:
Ta’ziyah  beliau ketika mendapatkan seorang sahabat kehilangan anaknya.
Qurrah bin Iyas berkata: Bahwasanya ada seorang lelaku yang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sedangkan ia bersama seorang anak. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apakah engkau mencintainya?”, orang itu menjawab,”Semoga Allah mencintaimu sebagaimana aku mencintainya.”
Dan ternyata anak itu meninggal dunia, sehingga beliau merasa kehilangannya. Lalu beliau bertanya tentangnya dan berkata kepada orang itu, “Tidakkah membuatmu senang bahwa engkau tidak mendatangi salah satu di antara pintu-pintu surga melainkan engkau mendapati anak itu di sisinya bergegas untuk membukakan pintu untukmu?” [HR.Nasa’i no.1869 dan dishahihkan oleh al Albani dalam Shahih an Nasa-i]
Ketiga:
Ketika ada seseorang yang kehilangan anaknya.
Dari Buraidah bin al Hashib dia menjelaskan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda kepada seorang wanita yang ditinggal mati oleh anaknya yang satu-satunya:
“Tidaklah seorang lelaki atau wanita muslimah ditinggal mati oleh tiga anaknya sedangkan dia mengharapkan pahala dari Allah, melainkan Allah akan memasukkannya ke dalam surga disebabkan oleh anak-anak tersebut.”
Kemudian Umar radhiyallahu ‘anhu berkata – yang pada waktu itu ia berada di sisi kanan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam – : “Demikian pula (bila ia ditinggal mati) oleh dua anaknya?
Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “(Ya), demikian pula (bila ia ditinggal mati) dua anaknya.” [HR.Hakim dan dishahihkan al-Hakim dan disetujui oleh adz Dzahabi dan al Albani dalam Ahkam al Jana’iz, hal.208]
Keempat:
Ketika berta’ziyah kepada Abdullah bin Ja’far radhiyallahu ‘anhu atas kematian bapaknya. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Ya Allah, gantikanlah Ja’far dalam keluarganya, dan berkahilah Abdullah dalam jual-belinya.”
Beliau mengulanginya sebanyak tiga kali. [HR.Ahmad dan Hakim dan dishahihkan oleh al Albani dalam Ahkam al Jana’iz, hal.209]
Itulah di antara ta’ziyah yang telah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada para sahabatnya yang tertimpa musibah. [Lihat Ahkam al Jana’iz hal.209 dan Shalah al Mukmin Jilid 3, hal.1353-1355)

Hukum berta’ziyah
Kebanyakan ulama menjelaskan bahwa hukumnya adalah sunnah. Sedangkan sebagian salaf yang mengatakan bahwa ta’ziyah tidak boleh dilakukan setelah jenazah dimakamkan adalah bukan pendapat yang kuat, bila ditinjau dari hadits-hadits yang ada. [Lihat penjelasan Imam an Nawawi dalam al Majmu’ Syarah al Muhadzdzab, jilid 5 hal.260, al Mughni jilid 4 hal.485, asy-Syarh al Mumti’ jilid 5 hal.487, al Mausu’ah al Fiqhiyyah jilid 12 hal.487]

Cara berta’ziyah
Adapun cara berta’ziyah adalah dengan cara menghibur orang yang sedang tertimpa dengan sesuatu yang dapat menyenangkannya, menjadikannya tegar dan bertahan untuk dapat ridha dan sabar serta mengharapkan pahala dari Allah dengan musibah yang menimpakannya, tsiqah (yakin) kepada Allah azza wa jalla bahwasanya Dia tidak mengingkari janji-Nya. Hal itu dapat disampaikan dengan mengabarkan pahala dan ganjaran yang telah dijelaskan dalam al Qur’an dan as Sunnah yang shahih atau dengan perkataan yang mudah dan dapat meringankan musibah yang menimpanya.
Selain dapat dilakukan secara langsung, ta’ziyah ini juga dapat dilakukan dengan surat. [Ahkam al Jana’iz hal.208, Fatawa Lajnah Da’imah, Jilid 9 hal.131, Shalah al Mu’min jilid 3 hal.1353, al Fatawa asy Syar’iyyah hal.776-777, Fatwa Syaikh Fauzan]
Ketika melakukan ta’ziyah seyogyanya dijauhi dua perkara yaitu:
Pertama, sengaja berkumpul-kumpul di tempat kematian; seperti di rumahnya, pekuburan atau di masjid.
Kedua, keluarga mayit membuatkan makanan bagi para pelayat.
Memang secara sepintas pula, penyajian hidangan untuk para tamu merupakan perkara yang terpuji bahkan dianjurkan sekali didalam agama Islam. Namun manakala penyajian hidangan tersebut dilakukan oleh keluarga si mayit baik untuk sajian tamu undangan tahlilan ataupun yang lainnya, maka memiliki hukum tersendiri. Bukan hanya saja tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bahkan perbuatan ini telah melanggar sunnah para sahabatnya radhiallahu ‘anhum. Jarir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu-salah seorang sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam- berkata: “Kami menganggap/memandang kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh keluarga mayit merupakan bagian dari niyahah (meratapi mayit).” (H.R Ahmad, Ibnu Majah dan lainnya)
Nabi Shollallahu 'alaihi wasallam bersabda :
مَنْ نِيحَ عَلَيْهِ يُعَذَّبُ بِمَا نِيحَ عَلَيْهِ
Barangsiapa yang diratapi (kematiannya) maka akan diazab karena diratapi. (Shohih Bukhory)
Nabi  bersabda :
الْمَيِّتُ يُعَذَّبُ فِى قَبْرِهِ بِمَا نِيحَ عَلَيْهِ
 Orang yang telah meninggal diazab di kuburnya karena diratapi (kematiannya). (Shohih Bukhory)
Sehingga acara berkumpul di rumah keluarga mayit dan penjamuan hidangan dari keluarga mayit termasuk perbuatan yang dilarang oleh agama menurut pendapat para sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan para ulama salaf. Lihatlah bagaimana fatwa salah seorang ulama salaf yaitu Al Imam Asy Syafi’i dalam masalah ini. Kami sengaja menukilkan madzhab Al Imam Asy Syafi’i, karena mayoritas kaum muslimin di Indonesia mengaku bermadzhab Syafi’i. Al Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata dalam salah satu kitabnya yang terkenal yaitu ‘Al Um’ (1/248): “Aku membenci acara berkumpulnya orang (di rumah keluarga mayit -pent) meskipun tidak disertai dengan tangisan. Karena hal itu akan menambah kesedihan dan memberatkan urusan mereka.” (Lihat Ahkamul Jana-iz karya Asy Syaikh Al Albani hal. 211)
Al Imam An Nawawi seorang imam besar dari madzhab Asy Syafi’i setelah menyebutkan perkataan Asy Syafi’i diatas didalam kitabnya Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab 5/279 berkata: “Ini adalah lafadz baliau dalam kitab Al Um, dan inilah yang diikuti oleh murid-murid beliau. Adapun pengarang kitab Al Muhadzdzab (Asy Syirazi) dan lainnya berargumentasi dengan argumen lain yaitu bahwa perbuatan tersebut merupakan perkara yang diada-adakan dalam agama (bid’ah -pent).
Adapun amalan yang dituntunkan ialah kerabat atau tetangga-tetangganyalah yang membuatkan makanan untuk keluarga si mayit. Karena ketika diumumkan kematian Ja’far yang terbunuh dalam perang, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far karena sesungguhnya mereka telah tertimpa urusan yang menyibukkan mereka.” (HR. Abu Dawud, dll). Sunnah inilah yang dipegang oleh Imam Syafi’i rahimahullah (lihat Al Munakhkhalah, hal. 66). Imam Asy Syafi’i sendiri tidak menyukai adanya berkumpul di rumah ahli mayit ini, seperti yang beliau kemukakan dalam kitab Al Umm, sebagai berikut, “Aku tidak menyukai ma’tam, yaitu berkumpul (di rumah keluarga mayit), meskipun di situ tidak ada tangisan, karena hal itu malah akan menimbulkan kesedihan baru.” (Asy Syafi’i, Al Umm, juz 1, hal. 248, dicuplik dari Tahlilan dan Selamatan Menurut Mazhab Syafi’i, hal. 18). Lalu apa yang harus dilakukan? Imam Syafi’i mengatakan, “Dan aku menyukai, bagi jiran (tetangga) mayit atau sanak kerabatnya, membuatkan makanan untuk keluarga mayit, pada hari datangnya musibah itu dan malamnya, yang sekiranya dapat mengenyangkan mereka, dan amalan yang demikian itu adalah sunnah (tuntunan Nabi).” (Asy Syafi’i, Al Umm, juz 1, hal. 247, dicuplik dari Tahlilan dan Selamatan Menurut Madzhab Syafi’i, hal. 27). Lihatlah keadaan sebagian orang yang mengaku bermazhab Syafi’i di negeri ini yang tenggelam dalam penyimpangan dari Sunnah Nabi ini, jauh sekali mereka dengan ajaran gurunya. Wallaahul musta’aan.

Islam Agama Yang Sempurna
Kesempurnaan agama Islam merupakan kesepakatan umat Islam semuanya, karena memang telah dinyatakan oleh Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama Islam bagi kalian, dan telah Aku sempurnakan nikmat-Ku atas kalian serta Aku ridha Islam menjadi agama kalian.” (Al Maidah: 3)
Juga Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَا بَقِيَ شَيْءٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ وَيُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ إِلاَّ قَدْ بُيِّنَ لَكُمْ
“Tidak ada suatu perkara yang dapat mendekatkan kepada Al Jannah (surga) dan menjauhkan dari An Naar (neraka) kecuali telah dijelaskan kepada kalian semuanya.” (H.R Ath Thabrani)
Ayat dan hadits di atas menjelaskan suatu landasan yang agung yaitu bahwa Islam telah sempurna, tidak butuh ditambah dan dikurangi lagi. Tidak ada suatu ibadah, baik perkataan maupun perbuatan melainkan semuanya telah dijelaskan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Suatu ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mendengar berita tentang pernyataan tiga orang, yang pertama menyatakan: “Saya akan shalat tahajjud dan tidak akan tidur malam”, yang kedua menyatakan: “Saya akan bershaum (puasa) dan tidak akan berbuka”, yang terakhir menyatakan: “Saya tidak akan menikah”, maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menegur mereka, seraya berkata: “Apa urusan mereka dengan menyatakan seperti itu? Padahal saya bershaum dan saya pun berbuka, saya shalat dan saya pula tidur, dan saya menikahi wanita. Barang siapa yang membenci sunnahku maka bukanlah golonganku.” (Muttafaqun alaihi)
Para pembaca, ibadah menurut kaidah Islam tidak akan diterima oleh Allah subhanahu wata’ala kecuali bila memenuhi dua syarat yaitu ikhlas kepada Allah dan mengikuti petunjuk Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Allah subhanahu wata’ala menyatakan dalam Al Qur’an (artinya):
“Dialah Allah yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji siapa diantara kalian yang paling baik amalnya.” (Al Mulk: 2)
Para ulama ahli tafsir menjelaskan makna “yang paling baik amalnya” ialah yang paling ikhlash dan yang paling mencocoki sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Tidak ada seorang pun yang menyatakan shalat itu jelek atau shaum (puasa) itu jelek, bahkan keduanya merupakan ibadah mulia bila dikerjakan sesuai tuntunan sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.
Atas dasar ini, beramal dengan dalih niat baik (istihsan) semata -seperti peristiwa tiga orang didalam hadits tersebut- tanpa mencocoki sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, maka amalan tersebut tertolak. Simaklah firman Allah subhanahu wata’ala (artinya): “Maukah Kami beritahukan kepada kalian tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya.” (Al Kahfi: 103-104)
Lebih ditegaskan lagi dalam hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa yang beramal bukan diatas petunjuk kami, maka amalan tersebut tertolak.” (Muttafaqun alaihi, dari lafazh Muslim)
Atas dasar ini pula lahirlah sebuah kaidah ushul fiqh yang berbunyi:
فَالأَصْلُ فَي الْعِبَادَاتِ البُطْلاَنُ حَتَّى يَقُوْمَ دَلِيْلٌ عَلَى الأَمْرِ
“Hukum asal dari suatu ibadah adalah batal, hingga terdapat dalil (argumen) yang memerintahkannya.”
Maka beribadah dengan dalil istihsan semata tidaklah dibenarkan dalam agama. Karena tidaklah suatu perkara itu teranggap baik melainkan bila Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya menganggapnya baik dan tidaklah suatu perkara itu teranggap jelek melainkan bila Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya menganggapnya jelek. Lebih menukik lagi pernyataan dari Al Imam Asy Syafi’I:
مَنِ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ
“Barang siapa yang menganggap baik suatu amalan (padahal tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah -pent) berarti dirinya telah menciptakan hukum syara’ (syari’at) sendiri.”
Wallohu Ta’ala A’lam Bisshowwab…

Dikumpulkan dari berbagai sumber…

“Tidak ada kebaikan dalam hidup ini kecuali salah satu dari dua orang:
1. Orang yang diam namun berpikir atau
2. Orang yang berbicara dengan ilmu.”
[Abu ad-Darda’ Radhiallohu 'anhu]